Membongkar Perselingkuhan Neoliberalisme dan Pembangunan Berkelanjutan dengan Nalar Foucauldian

Narasi mengenai kerusakan lingkungan hidup akibat eksploitasi sumber daya alam telah mendominasi tajuk-tajuk berita di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang yang memiliki wilayah hutan tropis cukup luas seperti Indonesia. Contoh yang paling baru adalah kasus kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan pada akhir tahun 2015 yang asapnya melumpuhkan kegiatan masyarakat di kawasan tersebut. Menurut Colin Macandrews, dalam artikelnya Politics of the Environment In Indonesia, bahasan mengenai pentingnya ketahanan lingkungan sebenarnya telah menjadi perhatian khusus dari pemerintah Indonesia, bahkan pada masa akhir pemerintahan rezim Orde Baru. Masalah deforestasi adalah satu fokus utama yang ingin diatasi. Rata-rata tingkat kehilangan hutan 1,1 juta hektar hutan per tahun pada 1990-an menjadi salah satu pemicu isu lingkungan mulai naik di Indonesia (Macandrews, 1994). Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah Indonesia kemudian mengadopsi konsep pembangunan berkelanjutan yang dianggap dapat menjaga lingkungan hidup di Indonesia dari eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan namun dapat tetap menjaga perekonomian di Indonesia tumbuh setiap tahunnya.

Jika ditinjau dari sejarahnya, kemunculan konsep pembangunan berkelanjutan tidak bisa dipisahkan dari keinginan untuk lepas dari paradigma pembangunan ekonomi neoliberal. Neoliberalisme memang begitu lekat dengan eksploitasi sumber daya alam. Sejak kerusakan lingkungan mulai dilihat sebagai permasalahan serius, konsep pembangunan berkelanjutan mulai banyak ditulis oleh para analis. Konsep pembangunan berkelanjutan mulai dilirik dunia internasional ketika adanya pemahaman ekologis yang menguat di tingkat pemerintah atau pun negara bangsa di dunia. Menurut A.K.Ramakrishna , konsep pembangunan berkelanjutan dipopulerkan oleh Brundtland Report (Laporan World Commission on Environment and Development) pada tahun 1987. Sejak saat itu konsep pembangunan berkelanjutan mulai dikenal dengan pandangannya pada generasi masa depan (Ramakrishna, 2011). Namun apakah pembangunan berkelanjutan benar-benar lepas dari paradigma pembangunan neoliberal atau malah jangan-jangan pembangunan berkelanjutan adalah bentuk baru dari neoliberalisme untuk menarik simpati orang-orang yang peduli dengan lingkungan hidup?

Neoliberalisme dan Pembangunan Berkelanjutan

              Neoliberalisme bisa dibilang telah menjadi salah satu kata yang paling banyak mengundang kontroversi beberapa tahun terakhir. Para pengusungnya percaya bahwa neoliberalisme merupakan satu-satunya jalan menuju kemakmuran dunia. Di sisi lain, neoliberalisme juga menjadi sasaran kritik dan dituding sebagai sumber kehancuran dan degradasi berbagai aspek kehidupan termasuk lingkungan hidup. Apa sebenarnya neoliberalisme?. David Harvey (2005), dalam bukunya A Brief History of Neoliberalism, mengatakan, neoliberalisme adalah paham yang menekankan jaminan terhadap kemerdekaan dan kebebasan individu melalui pasar bebas, perdagangan bebas, dan penghormatan terhadap sistem kepemilikan pribadi. Ini merupakan kombinasi antara liberalisme, paham yang menekankan kemerdekaan dan kebebasan individu, dan doktrin pasar bebas dalam tradisi ekonomi neo-klasik. Para pendukungnya menempatkan idealisme politik tentang martabat manusia dan kemerdekaan individu, sebagai ‘nilai sentral peradaban.’ Mereka menganggap, nilai-nilai itu menghadapi ancaman bukan saja oleh fasisme, komunisme, dan kediktatoran, tetapi oleh segala bentuk campur tangan negara yang memakai idealisme kolektif untuk menekan kebebasan individu.

Rumusan dasar paham neoliberalisme ini dinisiasi oleh dua peraih hadiah nobel ekonomi F. A Hayek dan Milton Friedman. Dalam tulisannya Hayek (1944, 1960) menolak segala bentuk intervensi negara karena dianggap membahayakan pasar dan kebebasan politik. Baginya, kebebasan adalah tidak adanya coersion, dan kebebasan paling utama adalah kebebasan ekonomi, yang berarti kebebasan berusaha tanpa kontrol negara. Milton Friedman (1962) pun sependapat dengan Hayek, ia mengatakan bahwa  ancaman utama kebebasan adalah pemusatan kekuasaan, karenanya itu, ruang lingkup kekuasaan pemerintah harus dibatasi. Tugas pokok pemerintah adalah melindungi kebebasan melalui penegakan hukum dan ketertiban, memperkuat kontrak-kontrak swasta, dan melindungi pasar yang kompetitif. Di sini perlu digarisbawahi, perhatian utama Friedman adalah kebebasan dalam konteks ‘competitive capitalism’ (berfungsinya korporasi-korporasi swasta dalam sistem berbasis pasar bebas), yakni sebuah sistem kebebasan ekonomi, untuk kemudian menuju kebebasan politik.

Paham neoliberalisme ini secara praktis tertuang dalam doktrin ‘Washington Consensus,’ sebuah agenda teknokratis berisi daftar kebijakan, yang pertama kali diperkenalkan oleh (eks) Direktur Bank Dunia John Williamson untuk negara-negara Amerika Latin, yang menghadapi defisit dan inflasi yang tinggi, pada tahun 1989 (J. Williamson, 2000). Disebut Washington Consensus, karena merupakan kesepakatan kebijakan antara World Bank, IMF, dan Kementrian Keuangan USA yang berpusat di Washington. Dalam perkembangannya ada 10 kata kunci baru yang ingin diterapkan oleh doktrin ‘Washington Consensus’ ini. (1) Bank Sentral yang independen; (2) reformasi baik terhadap sektor publik maupun tata kelola sektor swasta; (3) fleksibilitas tenaga kerja; (4) pemberlakuan kesepakatan-kesepakatan WTO dan harmonisasi standar-standar nasional dengan standar-standar internasional di dalam kegiatan bisnis dan keuangan, tetapi dengan pengecualian (terutama tentang perburuhan dan lingkungan hidup); (5) penguatan sistem keuangan nasional untuk memfasilitasi liberalisasi; (6) pembangunan berkelanjutan; (7) perlindungan masyarakat miskin melalui program jaring pengaman sosial; (8) strategi pengurangan kemiskinan; (9) adanya agenda kebijakan pembangunan nasional; (10) partisipasi demokrasi (M. Beeson & I. Islam, 2006). Jika dilihat dari 10 kata kunci baru yang ingin diterapkan oleh para penganut doktrin Washington Consensus atau Neoliberalisme ini maka pembangunan berkelanjutan adalah salah satu agenda pembangunan ekonomi neoliberal. Jika dilihat sebagai sebuah ideologi, pembangunan berkelanjutan sebenarnya menuntut segala sesuatunya untuk memenuhi tendensi pembangunan pemilik kapital dan menjadikannya sebagai komoditi yang bisa dijual dan mendatangkan keuntungan baik di masa kini maupun di masa depan. Penghancuran dan penebangan hutan, misalnya, telah dipilih jenis-jenis pohon tertentu yang tentu saja pohon yang tidak boleh ditebang adalah pohon yang sudah jelas tidak membawa keuntungan.

Konsep Kepengaturan Foucauldian: Cara Neoliberalisme Bekerja dalam Pembangunan Berkelanjutan

Dalam tulisannya yang berjudul REDD+ sebagai Strategi-Strategi Kepengaturan dalam Tata Kelola Hutan di Indonesia: Sebuah Perspektif Foucauldian, Rini Astuti menunjukan bagaimana cara neoliberalisme bekerja dalam pembangunan berkelanjutan khususnya program REDD+ di Indonesia lewat kerangka konsep kepengaturan (governmentality) yang dipopulerkan oleh filsuf Prancis Michel Foucault. Melalui kerangka teori governmentality, REDD+ dapat dipahami sebagai sebuah rezim tata kelola yang dibentuk dan dipengaruhi oleh beragam aktor, motivasi, kepentingan, dan pengetahuan. Penerapan REDD+ menunjukkan bagaimana sebuah kebijakan yang dibuat dengan dasar ilmu pengetahuan saintifik tertentu dapat menjustifikasi bentuk-bentuk baru strategi sosial politik di sektor kehutanan. Strategi sosial politik ini membentuk ruang bagi para aktor untuk menegosiasikan agenda dan kepentingan mereka sehingga terbentuklah tata kelola kehutanan yang rumit dan tumpang tindih (Astuti, 2013).

Foucault (1991 dalam Astuti, 2013) mendefinisikan governmentality sebagai pengaturan perilaku (the conduct of conduct), yaitu upaya untuk mengarahkan perilaku manusia. Governmentality beroperasi lewat strategi dan praktik yang telah dikalkulasi sedemikian rupa dengan cara “mendidik keinginan dan membentuk kebiasaan, aspirasi, dan kepercayaan”, baik individu maupun kelompok yang ada di dalam masyarakat (Li, 2007 dalam Astuti, 2013). Menurut Foucault (1991 dalam Astuti, 2013), tujuan dari upaya kepengaturan adalah membentuk perilaku manusia, sedangkan targetnya yakni menghasilkan “kesejahteraan masyarakat, perbaikan kondisi, peningkatan kemakmuran, kesehatan, dan sebagainya”. Sebuah upaya kepengaturan mempekerjakan berbagai teknik, strategi, dan pengetahuan tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Dean berargumentasi bahwa governmentality adalah representasi dari “mentalitas kolektif” yang diciptakan melalui “bidang-bidang pengetahuan, kepercayaan, dan opini di mana pikiran dan kesadaran kita diarahkan dan dibentuk” (Dean, 2009 dalam Astuti, 2013). Dalam pengertian yang luas, Foucault (1991 dalam Astuti, 2013) merangkum governmentality sebagai “pranata yang dibentuk dari beragam institusi, prosedur, analisis, refleksi, dan kalkulasi yang terencana, serta taktik yang membuat kekuasaan bisa diterapkan di tengah masyarakat dengan memakai aparatus keamanan sebagai mekanisme utama dan ekonomi politik sebagai pengetahuan utama”.

Dalam tulisannya tersebut, Rini Astuti berargumen bahwa teori governmentality dianggap dapat menyediakan alat analisis yang memadai untuk membedah kerja-kerja aktor negara maupun nonnegara dalam memengaruhi, membentuk, dan mendefinisikan kebijakan dan program REDD+. Governmentality memungkinkan diagnosis yang lebih tepat dan mendalam mengenai bagaimana kumpulan praktik, partisipan, pengetahuan, dan teknik bekerja untuk menghasilan subjek yang dapat diatur (Hart, 2004 dalam Astuti, 2013). Menggunakan governmentality dalam analisis berarti “mengeksplorasi rezim kepengaturan yang berusaha membentuk perilaku manusia dengan cara memeriksa kondisi-kondisi di mana kita diatur dan bagaimana kita mengatur diri kita dan orang lain” (Dean, 2009 dalam Astuti, 2013).

Selanjutnya, Rini Astuti membahas strategi-strategi kepengaturan yang bertujuan untuk memungkinkan REDD+ diterapkan di Indonesia. REDD+ mensyaratkan diterimanya pengetahuan-pengetahuan saintifik baru serta praktik-praktik modernisasi ekologi sebagai hal yang lumrah dalam tata kelola hutan di Indonesia. Karbon ekonomi sebagai rasionalitas baru coba diperkenalkan dan dinormalisasi dalam mengatur dan mengelola relasi antara manusia dan hutan. Kemudian dalam kesimpulan tulisannya, Rini Astuti mengatakan bahwa REDD+ mewujud melalui berbagai macam strategi dan praktik yang lahir karena didorong oleh rasionalitas karbon ekonomi yang berkelindan dengan beragam motivasi lain untuk memperbaiki tata kepengaturan hutan di Indonesia Proses-proses persiapan REDD+ telah berhasil membawa diskursus sosial politik kehutanan dalam arena-arena perdebatan di antara berbagai pihak. Namun, jika ditelusur lebih lanjut, alih-alih menjawab persoalan mendasar ekonomi politik kehutanan, aktivitas-aktivitas ini justru lebih disibukkan dengan teknikalisasi permasalahan yang bisa dibilang sangat dekat dengan neoliberalisme yang sangat memfavoritkan dimensi teknis dalam pembangunan. Konsep kepengaturan ala Foucauldian telah berhasil menelanjangi perselingkuhan neoliberalisme dengan pembangunan berkelanjutan.

Pancasila dan Kemanusiaan Kita

Tanggal 1 Juni 1945, seorang insinyur alumnus THS Bandung menyampaikan sebuah pidato tentang rumusan dasar negara untuk negaranya yang rencananya akan merdeka tidak lama setelah itu. Insinyur itu bernama Soekarno, negara yang akan merdeka tersebut bernama Indonesia, dan pidato itu oleh dr Radjiman Widyodiningrat (Ketua Badan Usaha-Usaha Penyelidikan Kemerdekaan Indonesia) disebut dengan Lahirnya Pancasila. Bila diukur dengan standar usia manusia maka pantaslah kita sebut Pancasila ini sudah sangat dewasa, namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah Pancasila yang sudah sedewasa itu sudah menjadi kepribadian kita, orang-orang yang menggaku berbangsa satu, bangsa Indonesia?. Sebelum tulisan ini dilanjutkan, ada satu hal yang ingin saya tegaskan kepada anda bahwa jika anda menganggap Pancasila itu sakral maka saya tidak bermaksud menjadikan kesakralannya untuk melegitimasi kesimpulan-kesimpulan yang akan saya buat sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Soeharto dengan P4-nya bahwa siapa saja yang anti terhadap dirinya maka dapat juga dianggap sebagai anti Pancasila. Artinya anda boleh tidak setuju dengan saya, bahkan perlu untuk tidak setuju dengan saya.  Lagipula saya tidak akan membahas Pancasila secara mendalam dikarenakan keterbatasan pengetahuan saya dan deadline paper UAS yang begitu banyak. Saya hanya akan menitikberatkan satu poin dari Pancasila yang menurut saya sangat penting untuk dibahas karena pada poin inilah krisis sedang terjadi. Poin tersebut adalah sila ke-2 “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” .

Sederhananya, KEMANUSIAAN adalah tentang nilai-nilai yang dianut oleh manusia dalam kaitan hubungannya dengan sesama manusia, seperti toleransi, welas-asih, cinta-kasih, tolong-menolong, gotong-royong, mendahulukan kepentingan umum, dan banyak lainnya. Semua nilai-nilai itu adalah antara manusia dengan manusia. Lalu untuk apa sebenarnya kemanusian ini ada dalam Pancasila? Setidaknya ada satu hal yang sangat penting mengapa Pancasila harus memuat sila tentang kemanusiaan. Para pendiri bangsa kita ingin agar nasionalisme bangsa ini tidak melangkah lebih jauh menjadi fasisme dan chauvinisme, karena apabila hal itu terjadi dengan sendirinya kita telah menciptakan suatu berhala yang akan selalu mempengaruhi kesadaran dan rasionalitas kita sehingga ia tidak mampu keluar dari batas-batas kebangsaan, berhala tersebut pantas kita beri nama “berhala nasionalisme sempit”.  Slogan militeris seperti “NKRI Harga Mati” dan slogan konsumeris “Damn, I Love Indonesia” (Agak unik karena cinta Indonesia tapi tidak menggunakan bahasa Indonesia) serta sikap penolakan bangsa ini (kecuali warga Aceh) pada para pengungsi Rohingnya dari Myanmar tahun lalu adalah bukti bahwa bangsa ini sedang terjangkit krisis kosmopolitanisme dan kemanusiaan serta sedang melakukan pemberhalaan, dan berhala itu bernama nasionalisme sempit. Hal ini menjadi ironis mengingat Soekarno pernah berkata “Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang tidak mencari gebyarnya atau kilaunya negeri keluar saja, tetapi haruslah mencari selamatnya manusia.. Nasionalisme kita haruslah lahir daripada ‘menselijkheid’.  Nasionalismeku adalah nasionalisme kemanusiaan, begitulah Gandhi berkata, Nasionalisme kita, oleh karenanya, haruslah nasionalisme yang dengan perkataan baru yang kami sebut: sosio-nasionalisme. Dan demokrasi yang harus kita cita-citakan haruslah demokrasi yang kami sebutkan: sosio-demokrasi”. Lebih jelas lagi beliau berkata bahwa landasan nilai yang menjadi inti dari nasionalisme Indonesia, yakni kemanusiaan, dalam pernyataan berikut ini:

Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka. Nasionalis yang bukan chauvinis, tidak boleh tidak, haruslah menolak segala paham pengecualian yang sempit budi itu. Nasionalis yang sejati yang nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copy atau tiruan dari nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan, nasionalis yang menerima rasa nasionalismenya itu sebagai suatu wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti. Baginya, maka rasa cinta bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.” (Soekarno, 1964).

Soekarno menegaskan bahwasanya nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme yang berkarakter chauvinis seperti halnya nasionalisme yang digembor-gemborkan Nazi-Hitler atau Mussolini di Eropa serta Hideki Tojo di Jepang. Hal ini ditegaskan kembali oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 di hadapan BPUPKI, ketika ia menyatakan bahwa nasionalisme Indonesia harus hidup dalam ‘tamansari’nya internasionalisme, yang ironisnya diartikan sangat sempit dengan slogan “NKRI Harga Mati” oleh bangsa yang dia bangun bersama para pendiri bangsa lainnya (http://www.berdikarionline.com/nasionalisme-ala-soekarno/).

Jika pemberhalaan terhadap nasionalisme sempit terus dilakukan maka akan terjadi adalah banalitas nasionalisme seperti yang dilakukan oleh Adolf Eichmann yang tertulis dalam karya Hanah Arendt Eichmann in Jerusalam, A Report on the Banality of Evil. 11 Mei 1960 anggota intel Israel menangkap Adolf Eichmann, seorang tentara Nazi yang melarikan diri di Argentina. Ia dibawa ke Israel untuk diadili atas kejahatannya selama perang dunia kedua terkait dengan pembunuhan orang-orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi Jerman. Tugas utamanya sebagai prajurit adalah mengatur transportasi jutaan orang Yahudi dari seluruh Eropa ke dalam kamp-kamp konsentrasi buatan Nazi. Dan dalam hal ini, ia menjalankan tugasnya dengan amat baik. Setelah perang usai ia pergi ke Argentina, dan hidup sebagai orang biasa dengan identitas palsu. Konon pemerintah setempat mengetahui hal ini, dan tetap bersikap diam. Pemerintah Israel tidak berhasil melakukan perundingan terkait dengan extradisi tahanan dari Argentina. Intel mereka pun bermain. Setelah Eichmann sampai Israel, pemerintah Israel membuka sebuah sidang publik yang bersifat terbuka. Ketika diminta memberikan pendapat tentang persidangan ini, David Ben-Gurion, perdana menteri Israel pada masa itu, berpendapat, bahwa sidang terbuka ini untuk menarik perhatian dunia pada “peristiwa yang paling tragis di dalam sejarah kami, fakta paling tragis di dalam sejarah manusia.”(https://rumahfilsafat.com/2011/12/26/hannah-arendt-banalitas-kejahatan-dan-situasi-indonesia/)

Hanah Arendt yang mengetahui hal tersebut kemudian mengajukan diri sebagai koresponden dalam persidangan tersebut. Ketika mendarat di Yerusalem, Arendt begitu kaget, karena ternyata Eichmann, pelaku kejam kejahatan terhadap kemanusiaan selama perang dunia kedua, adalah orang biasa yang sama sekali tak tampak kejam. Sebaliknya ia adalah “warga negara yang patuh pada hukum. Tidak ada tanda-tanda kejahatan di dalam dirinya. Ia hanya menjawab dengan pernyataan-pernyataan baik yang normatif. Rupanya seperti ditulis oleh Benhabib, pikiran yang kejam tidak diperlukan untuk melakukan suatu kejahatan yang brutal. Kejahatan yang brutal bisa mengambil rupa wajah orang baik-baik, orang-orang biasa (Benhabib, 2000).

Apa yang dilakukan oleh Eichmann, oleh Arendt disebut dengan banalitas dari suatu kejahatan. Yakni suatu situasi, dimana kejahatan tidak lagi dirasa sebagai kejahatan, tetapi sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, sesuatu yang wajar. Argumen ini ia dapatkan dari pengamatannya terhadap orang-orang Jerman biasa, yang tidak memiliki pikiran jahat, namun mampu berpartisipasi aktif di dalam suatu tindak kejahatan brutal. Eichmann adalah seorang perwira militer yang patuh. Dan sikap patuh di dalam militer adalah suatu keutamaan, bukan kejahatan. Ia tidak akan pernah berkhianat atau bahkan membunuh orang lain demi memuaskan kepentingan pribadinya. Bahkan menurut Arendt sebagai seorang perwira militer, Eichmann sama sekali tidak sadar tentang akibat dari tindakan patuhnya tersebut (Benhabib, 2000). Dan jika pemberhalaan pada nasionalisme sempit tidak dihentikan maka di Indonesia akan lahir Eichmann-Eichmann baru.

Selain nasionalisme sempit, tindakan tidak manusiawi lainnya yang artinya tidak sesuai Pancasila dapat anda temukan dalam kehidupan berorganisasi sehari-hari. Sudah menjadi hal yang lumrah bahwa anggota-anggota dari sebuah gerakan atau organisasi mahasiswa harus mematuhi Presidennya, Ketuanya, Pimpinannya, dan Seniornya dalam hal apapun mulai dari buku apa yang harus mereka baca dalam acara-acara diskusi mereka sampai hari-hari tertentu dimana mereka harus memakai korsa. Bagi mereka yang berbeda pendapat dengan sikap para pemimpin “Neraka Dunia” pun sudah disiapkan dalam berbagai bentuk mulai dari tidak dianggap, diasingan, dikucilan, dan dikeluarkan dari organisasi atau gerakan. Orang-orang yang berbeda tersebut seakan-akan ahli bidah, orang murtad, bahkan orang kafir yang harus diperangi dan dibasmi. Kalau dilihat secara sungguh-sungguh, memang organisasi mahasiswa dalam praktiknya memang sangat elitis. Keputusan organisasi diputuskan melalui rapat yang menurut insting suudzon saya memang sengaja didesain untuk diikuti oleh segelintir elit yang mempunyai embel-embel jabatan Presiden, Menteri, Pimpinan, Ketua, Kepala Divisi, Kepala Departemen, Anggota Senat atau apapun namanya yang kemudian keputusan hasil rapat tersebut harus dilaksanakan oleh seluruh anggota organisasi bahkan yang tidak merasa diwakili oleh orang-orang tersebut. Sungguh tidak manusiawi (yang sekaligus tidak Pancasilais karena Pancasila berdasar kemanusiaan) bukan? Lalu bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menjadi manusia pancasilais? Sudahkah kita menjadi manusia yang memanusiakan manusia lainnya?

 

 

 

 

 

Tentang Turki dan Demokrasi

Beberapa hari ini kita dikejutkan dengan pemberitaan mengenai percobaan kudeta di Turki yang dilakukan oleh militer Turki dengan tujuan menggulingkan pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan. Kudeta ini gagal. Bukan digagalkan oleh Erdogan dan pemerintahannya, tetapi oleh rakyat Turki sendiri. Mereka beramai-ramai turun ke jalan menghalangi tank-tank militer Turki yang ingin lewat. Satu hal yang perlu dicatat, mereka turun ke jalan bukan untuk membela Erdogan, mereka turun ke jalan untuk membela kebebasan, untuk membela demokrasi. Sebenarnya apa dan seberapa penting demokrasi ini, sehingga rakyat Turki mau mempertaruhkan nyawa untuk membelanya.

Demokrasi, secara harfiah, berarti pemerintahan yang dilakukan dengan menjadikan rakyat (demos) sebagai pemegang kekuasaan (kratos) tertinggi. Dalam arti ini, secara formal, demokrasi dapat didefinisikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tentu saja, di dalam negara-negara berpenduduk kecil, demokrasi bisa berjalan secara langsung, di mana rakyat secara langsung menentukan apa yang baik untuk dirinya sendiri melalui mekanisme diskusi publik. Namun, di negara-negara berpenduduk besar, seperti Indonesia, rakyat diwakili oleh orang-orang yang duduk di dalam perwakilan rakyat, dan mereka inilah yang memastikan, bahwa seluruh kerja pemerintahan mengacu pada kepentingan rakyat, setidaknya begitulah teorinya.

Lalu kapan suatu kondisi bisa disebut demokratis? Setidaknya ada satu indikator penting dalam demokrasi yang sering dilupakan yaitu diakuinya harkat martabat manusia. Diakuinya harkat martabat manusia disini maksudnya adalah, setiap dari kita menyadari bahwa setiap manusia itu terlahir ke dunia ini dalam kondisi yang setara dan mempunyai hak yang sama untuk hidup, untuk berpendapat, untuk update status Line atau upload foto di Instagram, untuk menjadi fans Chelsea FC seperti saya, untuk main Pokemon Go, untuk masuk organisasi bahkan Akatsuki sekalipun, untuk mengkritik orang lain dan yang paling penting untuk menentukan jalan ninjanya eh maksud saya jalan hidupnya sendiri-sendiri. Singkatnya kondisi demokratis menurut saya adalah ketika setiap manusia menjadi aktor utama dalam hidupnya masing-masing dan setiap keputusannya adalah buah pikirnya sendiri bukan merupakan instruksi dari siapapun dan bukan juga hasil dari dogmatisasi dan indoktrinasi. Artinya demokrasi mengakui dan memperbolehkan adanya ketidaksepakatan atau perbedaan pendapat.

Sistem politik dan pemerintahan  manapun di dunia ini baik itu republik, kerajaan, kesultanan, keemiran, kekaisaran, bahkan yang ada di dunia fiksi seperti ke-hokage-an selalu berusaha mengelola segala urusan dalam hidup bersama antar manusia, termasuk  ketidaksepakatan. Namun harus kita akui bahwa hanya demokrasi yang memberikan pengakuan bahwa ketidaksepakatan itu adalah bagian integral dalam hidup bermasyarakat yang tidak boleh dimusnahkan atau ditiadakan tetapi harus dijamin keberadaannya. Dari sini saya berasumsi bahwa rakyat Turki berani mempertaruhkan nyawa untuk membela demokrasi karena bagi mereka hidup tanpa kebebasan dibawah militer tidak ada artinya.

Kebalikan dengan demokrasi, tirani dengan latar belakang ideologi apapun yang mendasarinya apakah itu Komunisme, Fasisme, Orbaisme, dan lain-lain tidak memberikan pengakuan terhadap ketidaksepakatan itu. Dalam sistem tersebut berbeda adalah dosa besar apalagi ketidaksepakatan. Di Jerman zaman Nazi, siapapun yang tidak mau mengucap dan memberi salam “Heil Hitler” adalah bukan orang “kita”, melainkan “mereka”, “liyan”, “the other” begitu pula yang berlaku untuk orang-orang Tiongkok yang tidak pandai mengutip Mao, orang-orang Rusia yang tidak sejalan dengan Stalin, dan orang-orang Indonesia yang menentang Soeharto dan Orde Barunya. Sebuah “Neraka Dunia” sudah disiapkan khusus untuk mereka yang berbeda, contohnya Gulag di Rusia dibawah rezim Stalin, Kamp Konsentrasi Nazi dibawah rezim Hitler, dan Pulau Buru dibawah Rezim Soeharto.

Ada satu hal unik yang saya temukan soal hubungan sistem demokrasi dengan tirani ini. Ada semacam keterhubungan antara keduanya, dan ini berkaitan soal ketidaksepakatan. Saya akan mengambarkannya dengan beberapa cerita dari film kartun, film layar lebar, dan sejarah. Kita mulai dari cerita tentang Raja Sozin dari negara Api yang juga sahabat Avatar Roku dalam film kartun Avatar The Last Airbender yang pernah tayang sampai tamat di Indonesia. Raja Sozin ini menilai bahwa perbedaan pendapat yang terjadi diantara Kerajaan Bumi, Pengembara Udara, Suku Air, dan Negara Api adalah sebuah ancaman oleh karena itu perbedaan pendapat itu harus dihilangkan. Keempat negara itu harus disatukan (dibawah kekuasaan Negara Api tentu saja), singkat cerita dimulailah invasi Negara Api ke seluruh penjuru dunia untuk menghapus perbedaan pendapat ini. Kita lanjut ke cerita dari film layar lebar laris karya George Lucas, Star Wars. Di film Star Wars Episode III: Revenge of The Sith, Anakin Skywalker yang memang sejak kecil merasa perbedaan pendapat di Senat Republik Galaktik tidak membawa manfaat apa-apa apalagi bagi dirinya yang berasal dari planet kecil dan lebih menyukai keteraturan, makin dihasut oleh Kanselir Palpatine bahwa demokrasi lah yang memungkinkan perbedaan pendapat di Senat, dan hal itu pula lah yang mengakibatkan perang, ketimpangan ekonomi, serta penderitaan di planet-planet kecil seperti Tatooine tempat tinggal Anakin dan Ibunya yang kemudian meninggal dunia karena disiksa Tusken Raiders. Anakin kemudian percaya pada Palpatine bahwa demokrasi lah penyebab segala penderitaanya, dan oleh sebab itu maka demokrasi di seluruh galaksi harus dihapuskan. Dia kemudian menjadi pendukung utama Palpatine atau Darth Sidious yang kemudian mengubah Republik Galatik menjadi Kekaisaran Galaktik yang dalam perubahan bentuk pemerintahan dari yang tadinya demokratis menjadi tirani otoriter itu ironisnya diiringi ribuan tepuk tangan di Senat yang terekam dalam kutipan memorable Senator Padme Amidala (istri Anakin) “So this is how liberty dies…with thunderous applause“, dan sejak itu Anakin lebih dikenal sebagai Darth Vader.

Hal yang mirip dengan dua kisah tadi bisa kita temukan dalam sejarah peradaban manusia. Kita mulai dengan cerita singkat pembubaran Republik Romawi dan Perubahannya menjadi Kekaisaran Romawi oleh Julius Caesar yang menurut saya menginspirasi George Lucas dalam pembuatan naskah cerita Star Wars. Penaklukan Gaul membuat Caesar –yang memang sudah menjadi pemuka politik– seorang pahlawan tatkala kembali ke Roma. Dan di mata lawan-lawan politiknya malahan terlampau populer dan terlampau kuat. Ketika kendali komando militernya berakhir, dia diperintahkan oleh Senat Romawi kembali ke Roma dan menjadi penduduk biasa. Caesar khawatir, Oleh sebab itu, di malam tanggal 10-11 Januari 49 SM, dalam perlawanan terbuka terhadap Senat, Caesar memimpin pasukannya menyeberangi Sungai Rubicon di belahan utara Italia dan menuju Roma. Ini merupakan langkah melanggar aturan dan tak lain daripada suatu pemula perang saudara antara pasukan Caesar di satu pihak melawan pasukan yang setia kepada Senat di lain pihak. Pertempuran berkecamuk tak kurang dari empat tahun lamanya yang akhirnya dimenangkan oleh Caesar. Caesar berkesimpulan bahwa despotisme yang efisien yang diperlukan Romawi hanyalah dia yang bisa melakukannya bukan senat dengan segala embel-embel demokrasi dan hak berbeda pendapatnya itu.

Ketakutan akan perbedaan pendapat juga pernah menghinggapi pemimpin-pemimpin di Indonesia. Berdiri di atas podium di teras Istana Merdeka, Minggu, 5 Juli 1959, mata Presiden Sukarno tampak lelah. Tapi, pada sore hari itu, suaranya tetap lantang: “Dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan menyelamatkan Negara Proklamasi!” Sebagian besar rakyat yang mendengar pembacaan dekrit presiden itu menyambutnya dengan gemuruh pekik dan tepuk tangan. Padahal, bagi para politisi, keputusan Sukarno bagaikan lonceng kematian. Dengan dekritnya, Presiden membubarkan konstituante-parlemen sah hasil pemilu yang menurutnya terlalu banyak perdebatan di dalamnya. Inilah awal periode Demokrasi Terpimpin, yang sudah dipromosikannya sejak 1957 tapi ditolak oleh Muhammad Natsir (Masyumi), Sutan Sjahrir (Partai Sosialis Indonesia), dan I.J. Kasimo (Partai Katolik). Menurut para pengkritiknya, Demokrasi Terpimpin adalah sistem pemerintahan otoriter. Kritik yang sama dilontarkan oleh Mohammad Hatta. Tapi Sukarno tidak menyerah. Dengan dukungan partai besar seperti PKI, PNI, dan NU, Sukarno akhirnya bisa mendesakkan gagasannya menjadi kenyataan. Cerita tentang ketakutan akan perbedaan pendapat yang dialami oleh pengganti Soekarno, Soeharto, saya kira kita semua sudah mengetahuinya.

Dari cerita-cerita tersebut, dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa ketakutan akan perbedaan pendapat adalah awal runtuhnya demokrasi dan berdirinya tirani. Satu hal yang harus diingat, demokrasi kadang mati karena panik, panik dengan perbedaan pendapat. Hitler dalam keadaan panik dan takut kekuasaannya diganggu ketika mendirikan Third Reich dan membubarkan pemerintahan demokratis Republik Weimar. Begitu juga dengan Sozin, Anakin, Palpatine, Caesar, Stalin, Soekarno, dan Soeharto. Hal yang ironis sekarang sedang terjadi di Turki. Erdogan yang pemerintahannya terselamatkan karena demokrasi sekarang mulai menangkapi lawan-lawan politiknya dengan dalih untuk menyelamatkan demokrasi. Kalau dengan alasan itu Erdogan mulai bertindak keterlaluan maka sudah saatnya rakyat Turki berteriak lantang kepada Erdogan dengan ucapan yang pernah diucapkan oleh Obi Wan-Kenobi (Guru Anakin dalam film Star Wars) “Anakin, my allegiance is to the Republic, to Democracy!” atau jika disesuaikan dengan kondisi Turki sekarang “Erdogan, kesetiaan kami untuk Republik, untuk Demokrasi bukan untukmu”.